Tuesday, February 7, 2023

Sejarah Perkeretaapian Indonesia


Sejarah perkeretaapian di Indonesia berawal pada abad ke-19 saat masa pemerintahan Belanda. Jalur kereta api pertama di Indonesia dibuka pada tahun 1867 antara Anyer dan Batavia (Jakarta saat ini) untuk mendukung ekspor kopi, teh, dan produk lain yang sedang berkembang. Jalur kereta api pertama di Indonesia dibuka oleh Gubernur Jenderal Belanda pada saat itu, Governor General Daendels.

H.J. Daendels adalah Gubernur Jenderal Belanda yang memerintah Indonesia pada tahun 1808-1811. Ia memiliki kebijakan untuk membangun jalan raya dan jalur kereta api sebagai bagian dari upayanya untuk memperkuat pengaruh Belanda di Indonesia dan mempermudah pengiriman pasukan dan perdagangan. Ia juga membangun Benteng Mini, sebuah benteng militer untuk melindungi jalan raya tersebut. Namun, kebijakan Daendels memiliki dampak negatif bagi masyarakat setempat karena memakan biaya besar dan menyebabkan pajak tinggi.

Pada awal abad ke-20, Belanda memperluas jaringan kereta api di seluruh nusantara, menghubungkan berbagai kota besar seperti Surabaya, Semarang, dan Bandung. Dalam beberapa tahun, jalur kereta api menjadi salah satu moda transportasi utama di Indonesia dan membantu meningkatkan perekonomian negara.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, pemerintah baru memfokuskan perhatiannya pada pembangunan jaringan kereta api baru dan memperbaiki jalur yang sudah ada. Dalam beberapa dekade, jaringan kereta api di Indonesia terus berkembang dan menjadi salah satu jaringan kereta api terbesar di Asia Tenggara.

Sampai saat ini, kereta api masih menjadi moda transportasi penting bagi masyarakat Indonesia dan terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan transportasi yang semakin tinggi.

Saturday, November 12, 2011

Semboyan Kereta Api

Dalam rangka terselenggaranya pengoperasian perjalanan kereta api yang aman, tertib dan lancar, maka semua pergerakan yang ada diaturlah dengan menggunakan Semboyan. Menurut Peraturan Dinas 3 (PD 3) sebagai perubahan dan perbaikan serta penyesuaian dari Reglemen 3 (R 3) dalam BAB I, Pasal 1, Ayat (1), yang dimaksud dengan Semboyan adalah, pesan yang bermakna bagi petugas yang berkaitan dengan perjalanan kereta api sebagai : a. Perintah atau larangan, yang ditunjukkan/diperagakan melalui orang atau alat berupa wujud, warna, cahaya atau bunyi, meliputi : 1) isyarat; 2) sinyal; dan 3) tanda. b. Pemberitahuan tentang kondisi jalur, pembeda batas, dan petunjuk tertentu yang ditunjukkan melalui marka. Ayat (2), Isyarat adalah semboyan yang disampaikan oleh pengatur perjalanan kereta api atau petugas atau pihak lain dalam bentuk peragaan, bunyi, atau alat tertentu. Ayat (3), 

Sinyal adalah semboyan tetap yang diperagakan melalui alat berupa wujud, warna dan/atau cahaya. Ayat (4), Tanda adalah semboyan berupa alat atau benda untuk memberikan petunjuk yang berada pada jalur kereta api atau melekat pada sarana. Ayat (5), Marka adalah semboyan tetap yang meberitahukan kondisi jalur, pembeda, batas, dan petunjuk tertentu. Berikut ini ada beberapa contoh gambar semboyan berupa fisik yang masih berbentuk konvensional di sekitar jalur kereta api dan berikut penjelasan singkatnya: Semboyan 2A, (Isyarat Berjalan Hati-Hati) Kereta Api berjalan hati-hati dengan kecepatan tidak melebihi 40 km/jam Semboyan 2B, (Isyarat Berjalan Hati-Hati) Kereta Api berjalan hati-hati dengan kecepatan tidak melebihi 20 km/jam Semboyan 2C, (Isyarat Berjalan Hati-Hati) Kereta Api berjalan hati-hati dengan kecepatan tidak melebihi 5 km/jam, atau setara dengan kecepatan orang berjalan kaki. Semboyan 3, (Isyarat Berhenti) Kereta Api harus berhenti. KA tidak diperbolehkan memasuki bagian jalan yang membahayakan perjalanan KA. Semboyan 5, (Sinyal Utama) Kereta Api diperbolehkan “berjalan” melewati sinyal utama memasuki stasiun atau memasuki petak blok sesuai dengan kecepatan yang diizinkan. Semboyan 6, (Sinyal Utama) Kereta Api diperbolehkan “berjalan hati-hati” melewati sinyal utama memasuki stasiun atau memasuki petak blok dengan kecepatan terbatas. Semboyan 7, (Sinyal Utama) Kereta Api harus “berhenti” dimuka sinyal yang dihadapi. Semboyan 8, (Tanda hati-hati mendekati sinyal masuk) Perintah untuk hati-hati bahwa kereta api telah mendekati sinyal masuk pada jarak kurang lebih 1000 meter. Semboyan 18, (Tanda Batas Ruang Bebas) Petunjuk kepada petugas yang terkait dengan perjalanan KA bahwa rangkaian KA tidak boleh melampaui batas ruang bebas. Semboyan 21, (Tanda Akhiran Kereta Api) Petunjuk kepada petugas yang terkait dengan perjalanan KA mengenai posisi akhiran pada rangkaian KA. Tiada Semboyan Adapun di dalam PD 3, BAB III, Pasal 12, Semboyan dikelompokkan menjadi : (1) Semboyan di Jalur Kereta Api __a. Semboyan Sementara ___1) Isyarat : 1, 2A, 2A1, 2B, 2B1, 2C, 3 dan 4A ___2) Tanda : 2, 2H dan 2H1 __b. Semboyan Tetap ___1) Sinyal : 5, 6, 6A, 6B, 7, 7B, 9A1, 9A2, 9B1, 9B2, 9B3, 9C1, 9C2, _____9C3, 9D, 9E1, 9E2, 9F, 9G, 9H dan 9J ___2) Tanda : 8, 8A, 8B, 8C, 8D, 8E, 8F, 8G, 8H1, 8H2, 8J1, 8J2, 8K, 8L, 8M, 8N dan 8P ___3) Marka : 10A, 10B, 10C, 10D, 10E, 10F, 10G, 10H, 10J, 10K dan 10L __c. Semboyan Wesel, Corong Air, Jembatan Timbang dan Batas Ruang Bebas _____Tanda : 11A, 11B, 12A, 12B, 13A, 13B, 13C, 14A, 14B, 16A, 16B, 17 dan 18 (2) Semboyan Kereta Api __a. Semboyan Terlihat ___1) Isyarat : 30 dan 40 ___2) Tanda : 20, 21 dan 31 __b. Semboyan Suara ___1) Isyarat : 41 ___2) Tanda : 35, 36, 37, 38, 39 dan 39A (3) Semboyan Langsir ___1) Isyarat : 46, 47, 47a, 48, 50 dan 51 ___2) Tanda : 45 (4) Semboyan Genta _____Tanda : 55A1, 55A2, 55B, 55C, 55D dan 56 NB: Untuk beberapa contoh semboyan yang ada bentuk fisiknya bisa saja berbeda bentuknya untuk waktu siang dan malam.

Tuesday, March 22, 2011

Kilas Sejarah Stasiun-Stasiun KA di Semarang


Semarang adalah satu-satunya kota besar di Jawa yang tidak dilayani Staatsspoorwegen (SS). Tapi sebaliknya dilayani oleh tiga perusahaan kereta api swasta terkemuka di masa itu: selain Nederlandsch-Indische Spoorwegmaatschappij (NIS) juga Samarang-Joana Stoomstram Maatschappij (SJS) dan Semarang-Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS). SJS dengan jaringan sekitar 400 kilometer menghubungkan Semarang dengan Cepu dan Blora, melalui Demak dan Rembang. Selain itu SJS mengoperasikan trem kota Semarang Jomblang – Bulu. Sedang SCS dengan jaringan sekitar 230 kilometer menghubungkan Semarang dengan Cirebon, melalui Pekalongan dan Tegal. NIS sendiri kemudian memperluas jaringannya dengan membangun lintasan ke Surabaya melalui Brumbung, Gambringan, Cepu dan Bojonegoro dengan lebar sepur 1067 mm.

Keadaan Semarang itu, yang mirip situasi perkeretaapian di Paris memunculkan persoalan tersendiri. Ketiga perusahaan itu mempunyai jaringan terpisah yang tidak berhubungan, kecuali secara tidak langsung. Lebar sepur juga berbeda; 1435 mm (NIS jurusan Solo dan Yogya) dan 1067 mm (NIS jurusan Surabaya, SJS dan SCS). Keadaan ini cukup merepotkan, tidak hanya bagi penumpang tapi (terutama) untuk angkutan barang. Akibat jaringan yang terpisah, masing-masing perusahaan itu mempunyai stasiun yang terpisah pula. Tidak kurang dari lima stasiun kereta api pernah berdiri di Semarang (tidak termasuk halte trem Bulu-Jomblang).


STASIUN SEMARANG NIS (1867)

Stasiun pertama di Semarang (yang berarti juga pertama di Indonesia) adalah stasiun Semarang NIS yang terletak di Tambaksari, kelurahan Kemijen. Stasiun ini mulai dipakai bersamaan dengan beroperasinya kereta api Semarang - Tanggung pada 1867. Stasiun Samarang NIS adalah stasiun ujung (terminus, kopstation) berbentuk U. Satu sayap adalah gudang barang, sedang sayap yang lain stasiun penumpang.

Ada beberapa sumber yang menyebutkan stasiun pertama di Semarang adalah stasiun Kemijen. Sebenarnya NIS tidak pernah mempunyai stasiun yang bernama Stasiun Kemijen. Yang ada adalah halte Kemijen (SJS), yang terletak tidak jauh dari stasiun Samarang NIS. Halte Kemijen berada pada jalur Semarang – Demak. Ketika NIS ini dirobohkan untuk memasang rel menuju ke Tawang, sebagian stasiun Samarang NIS dirobohkan untuk memasang rel menuju ke Tawang, dengan hanya menyisakan gudang barang. Sekarang stasiun Samarang NIS dikenal sebagai stasiun Semarang Gudang.


STASIUN JURNATAN

Pada tahun 1882 SJS memulai pembangunan jalur kereta api dari Semarang ke Juana melalui Demak, Kudus dan Pati. Jalur SJS ini kemudian diperpanjang hingga ke Blora melalui dua rute: Semarang-Rembang-Blora dan Semarang-Purwodadi-Blora. Dari Blora pembangunan rel kemudian diteruskan sampai ke Cepu. Di Semarang SJS membangun stasiunnya di Joernatanweg (sekarang jalan Agus Salim). Karena pada waktu itu letak stasiun ini berada di tengah-tengah kota, maka disebut Central St
ation.

Di jalan Bojong (yang ketika itu masih merupakan daerah pinggiran kota) banyak didapatkan rumah-rumah besar dengan kebun yang luas (dalam bahasa Belanda disebut landhuis). Pada awalnya stasiun Jurnatan hanyalah berupa bangunan kayu sederhana. Namun pada tahun 1913 stasiun kecil itu dibongkar dan digantikan oleh sebuah bangunan baru yang besar dan megah dengan konstruksi atap dari baja dan kaca. Meski stasiun Jurnatan berada di akhir jaringan SJS, bangunan baru itu tidak dirancang sebagai stasiun ujung (terminus atau kopstation) ttapi berupa stasiun paralel, yaitu dengan satu sisi memanjang sebagai pintu masuk utama sedangkan di sisi seberangnya terdapat peron-peron.

Mulai 1974 stasiun Jurnatan tidak difungsikan lagi dan semua kereta api jurusan Demak dialihakan ke stasiun Tawang. Tak lama kemudian seluruh jaringan kereta api eks SJS ditutup karena tidak mampu bersaing dengan moda transportasi darat lain. Stasiun Jurnatan sempat terlantar tetapi kemudian dimanfaatkan sebagai termnal bus antar kota. Tetapi ini juga tidak berlangsung lama dan pada awal tahun 1980-an bangunan stasiun Jurnatan dibongkar dan ditempatnya sekarang berdiri sebuah komplek pertokoan.


STASIUN PENDRIKAN

Stasiun Pendrkan adalah stasiun ketiga di Semarang, setelah stasiun Tambaksari dan stasiun Jurnatan. Stasiun ini dibangun oleh SCS, sebuah perusahaan swasta yang mendapat konsesi untuk membuka jalur kereta api dari semarang ke Cirebon. Stasiun Pendrikan telah ada sejak 1897 bersamaan dengan pembangunan jalur itu. Disebut stasiun Pendrikan karena terletak di kawasan Pendrikan Lor, di sebelah utara jalan Indrapasta sekarang, tidak jauh dari perempatan Jalan Indraprasta, Jalan Imam Bonjol dan Jalan Pierre Tendean yang ketika itu masih merupakan daerah pingiran kota.

Jalan kereta api Semarang – Cirebon melulalui Pekalongan dan Tegal disebut juga “jalur gula” (Suikerlijn) karen pembangunannya semula untuk melayani tidak kurang dari 27 pabrik gula yang berada di pantai utara Jawa Tengah bagian barat. Jalur ini tadinya hanya jalur rel ringan yang dibangun di sisi jalan raya. Karena konstruksi yang ringan kecepatan maksimum kereta api hanya 35 km/jam. Tetapi antara 1912-1921 jalur ini ditingkatkan sehingga kereta api yang lebih cepat dan berat bisa melintasinya. Sejak itu jalur ini menjadi bagian yang penting hubungan rel antara Jakarta (Batavia), Semarang dan Surabaya.

Stasiun Pendrikan berfungsi sampai 1914 ketika stasiun SCS yang baru di Poncol selesai dibangun dan mulai beroperasi. Namun meski digunakan cukup lama, stasiun Pendrikan sebenarnya tidak layak disebut sebagai stasiun dan lebih tepat disebut sebagai halte. Memang stasiun ini sejak semula tidak dirancang sebagai tempat naik dan turun penumpang. Para penumpang SCS mengawali dan mengkahiri perjalanan mereka di stasiun Jurnatan milik Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS).

Untuk mencapai stasiun Jurnatan kereta api SCS melalui jalur trem kota yang melintasi Bojong (Jalan Pemuda). Saat ini stasiun Pendrikan dan emplasemennya telah berubah menjadi daerah perumahan yang padat, sehingga tidak heran bahwa sedikit sekali warga Semarang yang tahu bahwa dulu di Pendrikan pernah ada stasiun kereta api.


STASIUN SEMARANG PONCOL

Pada 6 Agustus 1914 SCS resmi menggunakan stasiun baru di kawasan Poncol. Karena berada di pinggir barat kota Semarang stasiun itu disebut Semarang – West. Stasiun Semarang – West ini dirancang oleh Henry Maclaine – Pont yang antara lain juga merancang kampus ITB. Bagian tengah bangunan itu, yang sekaligus merupakan pintu masuk utama dihiasi dengan ubin berwarna hitam dan abu-abu. Pada panel di kiri dan kanan bangun terdapat tulisan SCS dan angka tahun 1914 terbuat dari ubin hitam dan keemasan. Sebuah jam berada di puncak bangunan. Sayang, semua ornamen itu sudah tidak ada lagi sehingga hilang pula keindahan bangunan itu. Ditambah lagi peron yang semula terbuka sekarang tertutup dinding sehingga kesan ringan bangunan hilang.

Meski berada pada ujung jalur Semarang – Cirebon, stasiun Semarang West berbentuk stasiun paralel. Sejak semula memang direncakan stasiun ini akan dihubungkan dengan stasiun yang baru di Tawang sebagai stasiun utama Semarang. Tapi baru pada 1940, setelah pecah Perang Dunia II, atas desakan pihak militer, rencana itu betul-betul menjadi kenyataan. Pihak militer melihat bahwa tidak adanya hubungan antara Semerang – West dan Tawang merupakan titik lemah dalam pertahanan pantai utara Jawa yang ketika itu terancam serbuan Jepang. Saat ini stasiun Semarang – West ini dinamakan stasiun Semarang Poncol yang merupakan stasiun pemberangkatan dan kedatangan untuk KA kelas ekonomi.


STASIUN SEMARANG TAWANG

Stasiun Tawang diresmikan penggunaannya pada 1 Juni 1914. Stasiun ini dibangun untuk menggantikan stasiun Samarang NIS di Tambaksari yang dianggap sudah tidak memadai lagi sekaligus menyambut Koloniale Tentoonstelling, pekan raya internasional untuk memperingati 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Spanyol yang diadakan di kota Semarang.

Stasiun ini adalah yang terakhir dibangun di Semarang sampai saat ini. Proses pembangunannya berlangsung sekitar tiga tahun. Rancangan bangunan ini dibuat oleh Ir. Sloth Blauwboer yang diperkirakan adalah staff NIS. Meski hasil rancangannya terkesan megah, arahan direksi NIS di Den Haag lebih menekankan pada bangunan yang fungsional.

Stasiun Tawang dirancang sebagai perhentian kereta api jurusan Solo dan Yogya melalui rel 1435 mm. Pada 1924 Tawang menjadi perhentian kereta api Surabaya melalui Brumbung, Gambringan dan Cepu denganlebar sepur 1067 mm. Untuk itu dibangun peron baru di utara peron sepur lebar.

Sampai sekarang stasiun besar Tawang masih berfungsi sebagai stasiun utama Semarang untuk pemberangkatan dan kedatangan KA kelas eksekutif dan bisnis. Setiap tahun tidak kurang dari 600.000 penumpang menggunakan stasiun ini.




Written by: Tjahjono Rahardjo

Popular Posts