Saturday, September 5, 2009

Mari Membaca Sinyal

Foto tampak ke arah Utara dari atas peron stasiun Gambir pada sisi Barat.

Keterangan Gambar :

S1 – Sinyal Berangkat / Blok dari sepur 1 ke arah Jakarta Kota.
Sepur 1 biasa dipakai Parahiangan, Argo Anggrek, Gajayana, Bima.
Aspek sinyal berwarna MERAH.
Angka 4 diatas menunjukkan kecepatan KA max. saat berangkat = 40 km/jam.

S2 – Sinyal berangkat / Blok dari sepur 2 ke arah Jakarta Kota (JAKK)
Sepur 2 biasa dipakai KA langsung ke arah JAKK seperti KRL, Pakuan dan KA eksekutif yang datang dari arah timur dan melanjutkan ke JAKK.
Aspek warna HIJAU – sedang memberikan tanda aman buat KA yang langsung (KRL ekonomi ke JAKK).
Dibagian atas sinyal – Tanpa tanda Pembatasan Kecepatan, artinya KA dapat melaju dengan kecepatan penuh sesuai dengan peraturan yang berlaku.

SL1, SL2 – Sinyal Langsir, posisi tinggi – berupa dua lampu warna putih yang dipasang miring / diagonal.

SL3, SL4 – Sinyal Langsir, posisi tiang rendah – berupa dua lampu warna putih yang dipasang miring / diagonal ditambah satu lampu warna merah (sedang menunjukkan Aspek warna MERAH), berarti TIDAK DIIZINKAN gerakan langsir.
SL4 biasa dipergunakan untuk langsiran lokomotif Argo Gede, Argo Sindoro, Cirex, Purwojaya (atau rangkaian KA yang datang dari arah Selatan dan kembali ke arah Selatan). Namun apabila terdapat suatu rangkaian KA pada Sepur 4, maka bisa saja rangkaian KA lain lokomotifnya melakukan langsiran pada SL3 untuk kembali menuju ke arah Selatan / Manggarai.

Dari posisi tiang sinyal, bagi yang paham persinyalan langsung tahu bahwa dari Sepur 3 dan 4 – secara Reglemen Pengamanan sinyal di stasiun Gambir – tidak diizinkan KA berangkat ke arah Utara / Jakarta Kota. Karena Sepur 3 dan 4 TIDAK mempunyai Sinyal Berangkat, maka dari arah Selatan / Manggarai / Jatinegara, PPKA tidak akan memasukkan KA ke Sepur 3 ataupun 4 untuk keberangkatan, kecuali dalam keadaan darurat, terjadi kekusutan Sinyal / Wesel atau ada rintangan, yang terpaksa memakai sepur 3 misalnya untuk menerima KA dari arah Selatan / Manggarai, jadi akan menggunakan prosedur MS.

Untuk seluruh stasiun di wilayah Daop 1 (dengan kategori menggunakan 4 sepur dan terdapat sepur ganda pada kedua arah di ujungnya setelah lepas dari stasiun), mungkin Gambir adalah satu-satunya stasiun yang seluruh sepur-nya mempunyai sinyal berangkat, yaitu untuk ke arah Selatan / Manggarai. Jadi stasiun Gambir bisa diibaratkan seperti stasiun “mentok” yang dapat memberangkatkan KA dari masing-masing sepur tersebut.





Bandingkan dengan contoh pada foto stasiun Klari di samping kiri ini (masih pada kategori yang sama seperti di atas). KA Argo Gede dari Bandung menuju Jakarta sedang melintasi sepur 3. Jika kita perhatikan seluruh sinyal yang ada, maka pada sepur 2 stasiun Klari untuk ke arah Barat / Bekasi / Jakarta TIDAK MEMILIKI Sinyal Berangkat. Begitu juga untuk ke arah Timur / Cikampek, sepur 3 dan 4-nya juga TIDAK MEMILIKI Sinyal Berangkat.


Salah satu stasiun lain yang “kasusnya” mirip seperti di Gambir adalah terdapat pada stasiun Arjawinangun (wilayah Daop 3 CN), dimana keempat sepur yang ada, tepatnya untuk ke arah Cirebon masing-masing sepur MEMILIKI Sinyal Berangkat. Hal ini terjadi kemungkinan karena stasiun Arjawinangun memiliki sepur yang ke-lima, namun buntu. Dan hanya dipergunakan untuk memarkir “kendaraan” proyeknya, ataupun melakukan bongkar-muat kricak yang akan diangkut ke gerbong KKBW atau ZZOW.

NB:
Dahulu sejak saat awal stasiun Gambir mulai menggunakan rel di atas yang saya ketahui hingga tahun 2001, pada sepur 2-nya TIDAK MEMILIKI Sinyal Berangkat ke arah Selatan / Manggarai. Namun pada sepur 4 yang menuju arah Utara / Jakarta Kota, MEMILIKI Sinyal Berangkat berikut Sinyal Langsirnya.
Saat itu seringkali dalam keadaan “kehabisan sepur” KA Parahyangan yang datang dari Bandung “terpaksa” masuk sepur 2 dan kembali lagi ke Bandung juga dari sepur 2. Tetapi ini adalah Keadaan Luar Biasa dan PPKA akan memakai prosedur MS.
Posisi dan penggunaan sinyal pada stasiun tentulah ada kaitannya dengan fungsi wesel yang ada di sekitar stasiun.




Learning with; keretapi@yahoogroups.com

Sunday, August 30, 2009

Layanan Reservasi Kereta Api Eksekutif Yang Tidak (Belum) Pernah Memuaskan...

Berikut ini adalah komentar dari rekan anggota milis.

Kelemahan PT KA (dari jaman dulu) dalam soal reservasi ialah :

1/ Kereta tidak pernah dibuat standard (berlaku rangkaian standard hanya pada saat baru keluar dari pabriknya yaitu INKA, setelah waktunya PA semua kembali acak-acakan), banyak variasi dan improvisasi, terutama soal kursi baris 13 dan baris 1 (exe), atau baris 1 dan 16 (kelas Bisnis)

2/ Tidak pernah bisa menebak secara pasti konfigurasi kereta yg akan dipakai pada hari H oleh PUK maupun komputer karena systemnya tidak mendukung. Misalnya rangkaian harus selalu standard dan khusus, bukan sering tukar pakai alias gado2 alias sak dapatnya kereta, langsung jalan. Hal ini akan sangat terasa jika pada momen liburan panjang, seperti Lebaran.

3/ Pada hari H nya PUK tidak (mau) mengirim laporan konfigurasi kereta ke sistem reservasi pada hari H itu, sehingga penjualan hari H pun gak jaminan nomor "ajaib" ini bakal cocok dengan komputer, karena (sekali lagi) systemnya tidak mendukung untuk pelaporan aktual.


Jadi enaknya bagaimana ?

1) Kursi "ajaib" ini JANGAN DIJUAL lewat Reservasi, yg dijual nomor tengah baris 2 sampai 12, atau kalau kelas Bisnis baris 3 sampai 14 (karena baris 2 dan 15, selalu ada 2+2 kursi gak bisa dibalik posisinya untuk duduk dengan nyaman, alias leg room-nya sempit)

2) Kursi "ajaib" ini dijual langsung pada hari H, setelah dikonfirmasi oleh PUK nomor keretanya

3) Tiap kereta diberi Bar Code di dinding dalamnya, PUK dilengkapi bar code scanner, jadi sambil jalan meng-inspeksi dari kereta ke kereta, sekalian scan dan lalu dicolok ke computer reservasi untuk download data, untuk penjualan langsung hari H. Sekedar pembanding yg namanya Courier (seperti DHL, FedEx) tinggal scan sticker barcode untuk mencatat kota asal dan kota tujuan gak usah nulis2 tukang sortirnya. Mau gak PT KA memanfaatkan teknologi barcode, paling per stasiun besar cuma perlu satu-dua alat ini. Kalau masih pakai nulis2, rasanya pada males atau malah salah kutip nantinya.


Gimana PT KA, mau gak?



Susanto, keretapi@yahoogroups.com

Friday, August 7, 2009

Padang, Last Story

Nikmatnya naik kereta api dari stasiun Padang hingga stasiun Pariaman adalah pada saat kita telah sampai di stasiun ujungnya, yaitu Pariaman. Entah harus berapa kali saya katakan betapa indahnya ibukota propinsi Sumatra Barat ini. Cukup terkejut memang, ketika kami turun dari kereta api tak menyangka ternyata kita telah berada pada posisi stasiun yang sangat berdekatan dengan pantai yang juga merupakan bagian dari obyek wisata di Sumatra Barat. Dengan jarak yang hanya cukup ditempuh dengan beberapa langkah saja dari stasiun Pariaman kita sudah bisa bermain di air laut. Yup, Pantai Gandoriah namanya. Pagi yang cerah dengan memandang birunya air laut dan langit di atasnya membuat mata menjadi lebih segar.

Kota Padang memang memberikan nuansa yang indah tak hanya mulai dari atas pesawat pada saat kita akan mendarat di Bandara Minangkabau dimana kita dapat melihat garis pantai dan bukit barisan di bawahnya, namun setelah sampai ternyata cukup banyak juga obyek wisata di propinsi Sumatra Barat ini. Salah satu ciri yang paling khas dari kota Padang ini adalah apabila kita melihat suatu bangunan disana, maka akan terdapat atap rumah gadang pada bagian dari pintu masuk bangunan tersebut. Untuk bangunan yang dimiliki oleh instansi pemerintah hampir dipastikan bagian depannya terdapat atap rumah gadang ini.

Jalur rel kereta api yang bersebelahan dengan jalan raya di kota Padang juga menambah keindahan tersendiri bagi yang suka menikmati proses perjalanan dengan kereta api, walaupun kereta api di Padang tidak dapat berjalan dengan kecepatan tinggi. Agak lambatnya perjalanan kereta api disana dibandingkan dengan menggunakan transportasi darat lainnya sebenarnya bisa juga disebabkan beberapa hal seperti, kondisi trek / rel yang masih belum memadai seperti di pulau Jawa, banyaknya pintu perlintasan yang tidak terjaga, lokomotif yang kondisi mesinnya terbatas dan lain sebagainya. Namun disisi lain kondisi yang saat ini ada sebenarnya adalah merupakan suatu kemajuan dari perkereta-apian di wilayah Sumatra Barat, setelah sempat beberapa tahun mengalami kevakuman.


Waspadalah

Ada suatu hal yang sangat perlu diperhatikan jika kita naik kereta api di Padang. Jika dilihat pada foto jembatan disamping kanan sepertinya bentuk pada rangka dinding jembatan ini biasa saja seperti pada jembatan kereta api pada umumnya.Tetapi sebenarnya jika kita mengukur lebar dinding jembatan tersebut dari dalam kereta, sungguh amatlah tipis jarak antara dinding jembatan dengan bodi kereta.







Jika ingin membuktikan betapa tipisnya jarak dinding jembatan kereta api dengan bodi kereta itu sendiri sebenarnya bisa dilihat dari foto disamping (jangan lihat lokasinya lagi dimana). Silahkan perhatikan pada eblek Semboyan 21 berwarna merah tersebut. Awalnya saya mengira eblek merah ini terlipat ke arah bodi kereta diakibatkan dari ulah orang yang hanya sekedar iseng atau memang mempunyai sifat vandalisme. Karena posisi eblek Semboyan 21 yang ada pada umumnya harus mudah terlihat oleh masinis pada siang hari, karena itu harus mempunyai sudut 90 derajat terhadap bodi kereta. Namun pada jalur kereta api ini ternyata eblek merah yang menempel pada dinding kereta sengaja dilipat ke dalam oleh petugas agar tidak menyerempet dan mengenai jembatan yang akan dilewati oleh kereta api, bahkan mejadi sejajar dengan lampu Semboyan 21 di atasnya.

Hal ini terbukti ketika kereta api sedang melintasi jembatan yang mempunyai rangka dinding besi. Dapat dipastikan model dari seluruh kondisi pada dinding jembatan kereta api di wilayah Sumatra Barat seperti ini. Karena itu BERHATI-HATILAH… Tulisan yang tertera di dalam setiap kereta berpengangkut penumpang yang berbunyi “DILARANG KERAS MENGELUARKAN ANGGOTA BADAN” sudah sepatutnya harus benar-benar dipatuhi jika anda tidak ingin terluka dalam perjalanan ini. Kebiasaan melongok dari dalam kereta tampaknya harus ekstra hati-hati jika naik kereta api disini. Foto ini sudah menunjukkan betapa sangat tipisnya jarak antara dinding jembatan dengan bodi kereta, sehingga eblek merah dengan posisi yang normalpun dipastikan akan bersinggungan dengan dinding jembatan kereta api.

Di lain sisi akan berbeda lagi jika kita bepergian dengan menggunakan kereta api wisata. Khusus untuk bodi kereta wisata di Padang bentuknya memang agak sedikit berbeda dengan bodi kereta pada umumnya (buatan INKA) seperti di pulau Jawa, yaitu terletak pada fisik dari kedua jenis kereta tersebut dimana lebar antara keduanya memiliki perbedaan. Untuk kereta wisata memiliki lebar yang lebih kecil dibandingkan dengan kereta yang ada pada umumnya atau dengan kata lain bodinya lebih ramping. Sehingga pada saat kereta api wisata ini melewati jembatan yang ada rangka dinding besinya, maka akan mempunyai jarak / celah yang lebih longgar daripada kereta yang lainnya. Namun perlu diingat bahwa tulisan “Dilarang Keras Mengeluarkan Anggota Badan “ tetap harus diperhatikan.

Jika dilihat dari kedua foto terakhir di atas (dengan asumsi menggunakan jenis lokomotif dengan lebar yang relatif sama), maka akan terlihat jelas seberapa beda lebar sebenarnya bodi kereta wisata dengan kereta yang ada pada umumnya. Hal ini bisa diperhatikan dari posisi antara ujung dek lokomotif dengan ujung kereta atau tepatnya pada batas antara sambungan lokomotif dengan rangkaian kereta, dengan cara membandingkan lebar kedua jenis kereta tersebut terhadap lebarnya dek pada lokomotif.


Silahkan diperhatikan. Selamat mengamat-ngamati….. ;) ;)

Sunday, August 2, 2009

Padang Story, Part-3

Padang – Pariaman

Setelah memasuki hari kedua di Padang, di kala masih pagi buta kami sudah bersiap untuk berangkat melanjutkan perjalanan berikutnya, yaitu menaiki KA Sibinuang kelas ekonomi dengan jalur Padang – Pariaman (PP). Pukul 6 pagi kurang kami telah tiba di stasiun Padang. Matahari yang masih belum terbit membuat suasana sekitar stasiun yang masih agak gelap terasa sejuk dan segar. Mulailah kami mencari posisi masing-masing untuk mendapatkan foto-foto di sekitar stasiun Padang. Kereta api yang seharusnya berangkat tepat pukul 6.00 tampaknya agak sedikit terlambat, sekitar pukul 6.15 barulah Semboyan 40-41 dibunyikan. Kereta api-pun siap melaju perlahan-lahan meninggalkan stasiun Padang dari spur dua sambil membunyikan Semboyan 35-nya.

Stasiun pemberhentian pertama setelah kota Padang adalah stasiun Tabing. Cukup banyak juga penumpang yang naik ke kereta api dari stasiun ini, hal ini mungkin dikarenakan posisi dari stasiun tersebut yang sangat berdekatan dengan jalan utama yang menghubungkan antara bandara Minangkabau dengan kota Padang, sehingga akan memudahkan penumpang untuk melanjutkan perjalanan berikutnya dengan kereta api ke daerah lain ataupun sebaliknya turun dari kereta api bisa langsung naik angkot / bis menuju tempat lainnya. Bahkan sebagian besar dari posisi rel kereta api sepanjang lintas ini bersebelahan dengan jalan raya.


Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar satu jam, KA Sibinuang berhenti sebentar di stasiun Duku. Stasiun ini sepertinya merupakan stasiun terdekat dari bandara Minangkabau. Foto pada bagian sebelah kiri yang dekat dengan jembatan kereta api adalah merupakan fly over yang sedang dalam proses permbangunan. Fly over ini tampaknya dibuat untuk jalan akses langsung dari bandara Minangkabau menuju ke kota Padang.


Pemberhentian kereta api berikutnya adalah stasiun Pasar Usang. Disini penumpang kereta api sepertinya tidak terlihat terlalu banyak. Setelah proses naik-turun penumpang KA Sibinuang langsung berangkat.





Di stasiun Lubuk Alung kereta api berhenti agak lama. Karena ini merupakan stasiun yang tergolong besar, penumpang yang turun-naik di stasiun ini juga cukup banyak. Selain itu Lubuk Alung adalah merupakan stasiun cabang, dimana tampak pada foto disamping terlihat sinyal mekanik yang menandakan semboyan 5 (telah menunjukkan jalur aman) yang mengarahkan kereta api bergerak ke arah kiri menuju Pariaman.
Sementara itu jalur yang sebelah kanan adalah jalur rel kereta api yang akan menuju stasiun Padang Padang. Nuansa perjalanan ke arah ini sebenarnya jauh lebih indah, ada rel bergerigi yang cukup panjang lintasannya karena jalur kereta api tersebut cenderung menanjak dan melintasi Lembah Anai. Namun sampai saat ini masih belum digunakan untuk kereta api reguler. Karena itu Semboyan 7 tetap digunakan untuk jalur yang menuju Padang Panjang ini.

Tak lama kemudian kereta api memasuki emplasemen stasiun Pauhkambar. Stasiun kecil yang sepertinya baru selesai di cat ini terlihat cukup bersih, namun sepi dari penumpang. Jika dilihat dari posisi orang berpijak yang akan naik kereta api, terlihat bahwa dulunya ada rel kereta api di jalur ini, tapi sudah hilang.




Tempat pemberhentian berikutnya sebelum sampai di Pariaman adalah stasiun Kurai Tadji. Pada stasiun ini terlihat cukup ramai dan banyak aktivitas warga di sekitarnya. Ternyata di belakang stasiun ini terdapat pasar tradisional. Banyaknya sampah yang berserakan di sekitar stasiun membuat stasiun ini jadi terlihat kotor. Namun disisi lain hal ini menunjukkan bahwa kegiatan masyarakat di daerah tersebut menjadi lebih hidup. Karena banyak penumpang yang turun di stasiun ini, maka kereta api mulai agak sepi di dalamnya hingga menuju Pariaman.

Akhirnya KA Sibinuang sampai di tujuan akhir yaitu stasiun Pariaman. Tanpa menunggu waktu lama setelah kereta api berhenti, lokomotif yang menarik rangkaian inipun langsung dilangsir untuk kembali ke stasiun Padang. Lokomotif BB30612 ini cukup unik karena terdapat lonceng di bagian depannya yang bisa dibunyikan dari dalam kabin masinis. Namun untuk ukuran tingkat keramaian yang cukup tinggi di sekitar stasiun ini, suara lonceng ini tampaknya tidak terlalu diperhatikan pada saat lokomotif tersebut akan melewati. Maka akhirnya Semboyan 35-pun “bicara”. Sepanjang perjalanan langsir di spur satu ini mulai dari ujung rel, Semboyan 35 tak henti-hentinya dibunyikan karena masih banyak warga yang lalu-lalang di atas rel tanpa menyadari kalau akan ada lokomotif yang mau lewat. Luar biasa suaranya…..

Setelah rangkaian KA Sibinuang siap tersedia pada spur 2, petugas PPKA-pun mengumumkan keberangkatan kereta api ini yang menuju ke Padang. Bantalan rel kereta api yang sebagian telah tertutupi oleh pasir pantai menunjukkan bahwa stasiun ini sangat dekat sekali dengan garis pantai. Cukup berjalan kaki hanya beberapa meter saja kita sudah sampai di pinggiran pantai. Sementara di sisi lain seberang stasiun atau tepatnya dari pintu masuk utama stasiun terdapat jalan raya dan pasar yang sangat ramai dikunjungi masyarakat sekitar. Dan sekitar pukul 8.50 berangkatlah KA Sibinuang menuju Padang.

Kemudian sekitar pukul 8.45 kereta api ini tiba di stasiun percabangan yaitu stasiun Lubuk Alung yang mempunyai empat jalur kereta api yang aktif. Disini KA Sibinuang berhenti lumayan lama (kurang lebih 15 menit) pada jalur empat. Karena selain jumlah penumpang yang turun & naik di stasiun ini cukup banyak, pada stasiun ini akan terjadi momen yang cukup langka. Dimana KA Sibinuang akan bersilang dengan KA Wisata Padang – Pariaman (persilangan kereta api di wilayah Sumatra Barat adalah suatu hal yang sangat jarang terjadi pada saat ini). Dengan sabar kamipun menanti untuk mengabadikan momen ini.

Akhirnya momen yang ditunggu-tunggupun tiba. Kereta Api Wisata Padang – Pariaman datang di stasiun Lubuk Alung tepat pukul 10.00 dengan ditarik oleh lokomotif BB20415 memasuki emplasemen spur tiga. Tak hanya untuk orang yang ingin berwisata, penumpang biasapun ternyata cukup banyak yang menantikan kedatangan kereta api ini untuk ikut dalam perjalanan menuju Pariaman. Setelah bersilang, tanpa menunggu waktu lama lagi KA Sibinuang yang kami naiki pun langsung bersiap untuk berangkat ke Padang.



Pukul 11.15 KA Sibinuang sudah datang kembali di stasiun Padang dan bersiap untuk memasuki spur lurus, atau tepatnya pada jalur dua. Tampak pada foto, berada di jalur paling kiri terdapat rangkaian yang sedang stabling, yaitu gerbong pengangkut batubara dan gerbong semen yang biasanya melintas di daerah Indarung.





Sekian cerita dari jalur kereta api Padang – Pariaman (PP)


Terima kasih.

Thursday, July 30, 2009

Padang Story, Part-2

Steam Locomotive @ West Sumatra



Wisata kereta api dengan lokomotif uap yang dekat dengan kota Padang adalah berada di Sawahlunto. Lokomotif uap yang dipergunakan untuk menarik KA wisata ini adalah lok dengan seri E10 60, atau orang di Padang biasa menyebutnya dengan “Mak Itam”. Lokomotif ini dulunya pernah “tertidur” cukup lama di Jawa Tengah, tepatnya di dipo lokomotif uap Ambarawa. Setelah lokomotif tersebut diperbaiki dan dapat beroperasi dengan sempurna, maka kembali pulanglah dia ke kota asalnya. Semoga lokomotif ini tetap dapat dirawat dengan baik untuk dijadikan museum kereta api berjalan di wilayah Sumatera Barat.
Perjalanan KA uap ini berangkat dari stasiun Sawahlunto pada pukul 12 siang dengan tarif sebesar Rp 50.000,- (PP). Stasiun ini sebenarnya dapat ditempuh lebih dekat dari kota Padang jika menggunakan kendaraan pribadi. Namun jika anda berlokasi di sekitar Bukit Tinggi atau Padang Panjang, maka anda bisa menggunakan kereta api wisata dari stasiun Padang Panjang yang berangkat pada pukul 9.30 tetapi hanya berjalan reguler pada hari minggu atau hari libur dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Dan sampai di stasiun Sawahlunto KA uap ini sudah siap menunggu untuk melanjutkan perjalanan anda.

Jarak antara stasiun Sawahlunto hingga Muara Kalaban hanya sekitar 4 kilometer. Cukup dekat memang. Namun kenikmatan naik kereta uap ini sangatlah luar biasa. Seperti kembali melihat ke zaman dahulu, di saat Belanda masih menggunakan lokomotif ini untuk mengangkut hasil tambang batubara yang didapat dari Sawahlunto untuk dikirim ke Padang.



Di stasiun Muara Kalaban kereta ini tidak berhenti lama. Hanya menunggu langsiran si lokomotif uap tersebut untuk merubah posisinya kembali menuju ke stasiun sawahlunto. Dan juga sekaligus lokomotif diisi tambahan batubara yang telah tersedia di dalamnya.




Setelah rangkaian kereta api telah tersedia dengan sempurna, maka bersiaplah untuk berangkat kembali menuju stasiun Sawahlunto.






Tebalnya asap hitam dari lokomotif yang berbahan bakar batubara ini menyisakan bekas kepulan asap tebal yang pekat pada saat setelah melintasi terowongan antara Muara Kalaban dengan Sawahlunto. Terowongan yang cukup panjang, ditambah dengan lambannya kereta api berjalan sepanjang di dalam terowongan menimbulkan suasana yang sangat mengasyikkan. Asap lokomotif-pun akibatnya ikut masuk ke dalam kereta, dan seluruh penumpang yang ada pastilah merasakan aroma dari asap lokomotif berbahan bakar batubara tersebut.

Setelah sampai di stasiun Sawahlunto lokomotif E10 60 tak berlama-lama di emplasemen stasiun. Begitu terlepas dari rangkaian, lokomotif langsung dilangsir kembali untuk menuju tempat beristirahatnya sehari-hari yaitu di dalam dipo lokomotif Sawahlunto.




Meskipun lamanya waktu perjalanan kereta api dengan menggunakan lok uap ini hanya berkisar 1,5 jam pergi-pulang, namun suasana yang didapat sepanjang perjalanan sungguh luar biasa nikmatnya. Buat anda yang berminat silahkan segera mencobanya, dijamin tidak akan kecewa…
:) :)

Wednesday, July 29, 2009

Padang Story, Part-1

Padang Panjang – Sawahlunto
Pada pertengahan bulan Juli 2009, adalah pertama kalinya bagi saya untuk menginjakkan kaki di kota Padang. Bukan karena tanpa alasan saya bisa sampai kesana, namun inilah efek / akibat dari sebuah hobi. Berangkat dengan menggunakan pesawat AirAsia dari Jakarta hanya membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam dari Bandara Soekarno-Hatta hingga Bandara Minangkabau. Sangat cepat memang. Namun sebenarnya saya ingin sekali menggunakan jalan darat, yaitu dengan menggunakan Bis. Mengingat keterbatasan waktu perjalanan maka pilihan menggunakan pesawat terbang tak dapat ditolak lagi.

Tak disangka setelah sampai ternyata di Padang itu sangat indah sekali, mulai dari pantai, lembah, jurang, tebing hingga gunung terdapat disana semua. Bahkan rel mati yang sudah lama terbenam berpuluh-puluh tahun dengan tanah / pasir / rumput sepertinya masih terlihat sempurna posisinya. Tak dibayangkan jika rel yang mati terdapat di pulau Jawa, pastilah sudah cepat “”habisnya”.

Di pagi hari yang cerah sekitar pukul 7 lewat kamipun telah tiba di stasiun Padang Padang. Nuansa disana sangat berbeda sekali dibandingkan dengan situasi di pulau Jawa pada umumnya. Di ketinggian stasiun yang kurang lebih pada posisi 800 meter dpl, benar-benar terasa sejuk, dan ditambah angin di pagi hari yang sepoi-sepoi membuat hawa sekitarnya terasa cukup dingin.

Pada pukul 8 rangkaian kereta api wisata telah siap tersusun rapi pada spur 1 emplasemen stasiun Padang Panjang. Dengan menggunakan lokomotif BB20416 rangkaian yang terdiri dari 5 kereta telah siap berangkat. Rangkaian terdiri dari 3 kereta non-AC, 1 kereta makan dan 1 kereta yang ber-AC. Dan pukul 8.30 kereta api siap diberangkatkan.

Lokomotif dengan seri BB204 adalah merupakan satu-satunya lokomotif Diesel Elektrik buatan Eropa, yaitu SLM yang khusus dioperasikan pada jalan rel bergigi di Sumatera Barat. Lokomotif ini memiliki daya 1230 HP dengan berat 55 ton. Kondisi jalan dengan medan yang terjal (naik & turun) antara Padang Panjang hingga Batu Tabal, memaksa kereta api yang lewat jalur ini harus menggunakan roda gigi pada lokomotifnya agar tidak terjadi slip rodanya pada saat menanjak. Kecepatan KA pada saat melintasi rel bergigi inipun dibatasi, yaitu maksimal 20 km/jam. Sementara dalam keadaan normal Taspat yang berlaku adalah 40km/jam. Hal ini lebih dikarenakan kondisi jalan rel yang tidak memungkinkan untuk kecepatan tinggi. Selain itu juga namanya juga wisata kereta, jadi yang lebih dinikmatin pasti proses perjalannya, berserta pemandangan di sekitar rel kereta api.

Berikut ini adalah nama-nama stasiun yang dilewati oleh KA Wisata Padang Panjang – Sawahlunto, namun tidak semua yang dilewati kereta api akan berhenti.


Stasiun Kubuk Rambil, disini KA berjalan langsung.









Melewati halte stasiun yang telah menjadi rumah penduduk. Tampak jelas masih tersisa pipa bekas pengisian air untuk lokomotif uap pada zaman dahulu.







Stasiun Batu Tabal.
Yang menyebabkan foto disamping menjadi kurang jelas adalah karena salah fokus. Seharusnya yang diperjelas itu stasiunnya, tetapi koq malah handle lokomotif yang berwarna hitam yang menjadi jelas. Hahaha….
Di stasiun ini kereta api tidak tentu akan berhenti atau tidak. Hal ini sangat tergantung ada atau tidaknya penumpang yang akan naik dari stasiun tersebut. Kebetulan saat itu kereta api berjalan langsung.

Stasiun kacang.
Terlihat bersih dan terawat bangunannya. Serta tampak beberapa bocah yang sedang asik mengamati kereta api yang sedang melintas.






Stasiun Singkarak.
Terdapat dua spur, namun tampaknya sudah tidak pernah dimanfaatkan lagi untuk persilangan kereta api.







Stasiun Solok.
Di stasiun ini kereta api dapat dipastikan akan berhenti, karena cukup banyak juga penumpang yang naik ataupun turun disini. Dan stasiun ini ukurannya juga cukup besar, bahkan mempunyai dipo lokomotif, walaupun terlihat sudah tidak pernah dipergunakan lagi sebagai fungsinya namun tetap terawat bangunannya dan bersih.



Stasiun Sungai Lassi.
Stasiun yang kecil dan sepi, KA berjalan langsung.








Stasiun Muara Kalaban.
Kereta Api berhenti sejenak untuk naik / turun penumpang.








Memasuki terowongan.
Terowongan antara stasiun Muara Kalaban dengan Sawahlunto ini cukup panjang juga, panjangnya sekitar 800-900 meter. Seperti biasa suasana yang sangat gelap pada saat memasuki terowongan ini di bantu oleh cahaya lampu yang ada di dalam kereta.





Stasiun Sawahlunto.
Sekitar jam 12 kurang seperempat sampailah kami di stasiun Sawahlunto, lokomotifpun langsung melakukan kegiatan langsir untuk memindahkan posisinya dan menjadi longhood (hidung panjang) untuk kembali menarik rangkaian kereta api kembali pulang ke Padang Panjang yang akan berangkat pada pukul 14.30 kemudian.
Jarak antara stasiun Padang Panjang hingga stasiun Sawahlunto ini adalah sejauh 80 kilometer, dan ditempuh dengan waktu kurang lebih 3 jam perjalanan.


Indahnya panorama rel kereta api di Padang adalah pada saat melintasi sepanjang danau singkarak, dimana jarak antara danau, jalan raya serta rel kereta api sangat berdekatan sekali. Sepertinya di Indonesia hanya terdapat di Padang untuk pemandangan jalur seperti ini. Kereta api yang berjalan agak lambat, membuat setiap kendaraan yang berpapasan dengan kereta ini pasti menyempatkan waktu sejenak untuk mengeok ke arah kereta api yang sedang lewat disampingnya.


Dalam perjalanan pulang, setelah sampai di stasiun Batu tabal lokomotif kembali melakukan kegiatan langsiran untuk mengubah posisinya dari menarik rangkaian (lok di depan) menjadi mendorong rangkaian (lok di belakang). Hal ini dilakukan karena jalur yang akan menuju ke Padang Panjang akan menghadapi tanjakan yang cukup terjal untuk ukuran kereta api. Di jalur inilah rel bergigi akan berperan sesuai fungsinya dalam membantu kelancaran jalannya kereta api.


Foto disamping adalah perjalanan kereta api yang sedang didorong oleh lokomotifnya dari belakang dan juga telah memasuki lintasan rel bergigi. Sehingga kecepatannya dibatasi hanya boleh sampai dengan 20 km/jam.
Dan sekitar pukul 17.30 sampailah kereta api wisata ini kembali pulang ke stasiun Padang Panjang. Dan rangkaianpun siap disimpan kembali ke dalam dipo.


Sekian cerita tentang jalur kereta api Padang Panjang – Sawahlunto



Thanks.

Wednesday, July 8, 2009

GERBONG

Kendaraan untuk angkutan barang disebut gerbong. Persyaratan teknis gerbong tidak terlalu menuntut kecepatan dan kenyamanan. Konstruksi yang diperlukan adalah untuk menjaga agar barang yang diangkut utuh dan tidak rusak sampai di tujuan. Upaya unutk mendapatkan berat muat yang optimal menjadi ukuran keberhasilan rancang bangun gerbong.

Angkutan barang secara umum sangat heterogen dan beberapa memerlukan perlakuan khusus. Untuk dapat melayani berbagai jenis barang, perusahaan jalan rel harus menyediakan beberapa tipe gerbong yang dapat digunakan pada berbagai kemungkinan. Untuk jenis barang yang mempunyai volume angkutan tinggi dan memerlukan angkutan terus menerus mungkin perlu ada gerbong khusus.

Jumlah armada yang dibutuhkan untuk angkutan barang lebih sulit untuk dirumuskan dibanding unutk angkutan penumpang. Pada perusahaan jalan rel yang melayani angkutan barang yang sangat beragam dan dari lokasi yang tersebar maka jumlah armada yang dibutuhkan tergantung pada cara pengoperasian gerbong.

Angkutan kurs adalah angkutan yang melayani perjalanan bolak-balik dari satu titik asal sampai ke titik tujuan yang tertentu. Gerbong akan berjalan isi dan kembalinya berjalan kosong. Peredaran gerbong dijaga untuk tidak keluar dari jalur yang sudah ditentukan. Pada cara ini manajemen peredaran gerbong mudah, karena gerbong tidak akan keluar dari jalur yang sudah ditentukan. Namun dari segi pendapatan sebenarnya rugi karena setengah dari waktu perjalan adalah kosong. Dalam negosiasi tarif perlu diperhitungkan bahwa perjalanan kosong juga memerlukan biaya dan harus dapat ditutup dari tarif yang disepakati.

Lebih menguntungkan sebenarnya jika gerbong digunakan dari satu stasiun ke stasiun lain dengan perjalanan isi dan pada stasiun tujuan sudah menunggu muatan lain untuk tujuan stasiun berikutnya. Jika hal ini dapat dilakukan secara sambung menyambung dan sebagian waktu perjalanan gerbong ada dalam keadaan isi maka didapat pemanfaatan gerbong yang tinggi. Waktu perjalanan kosong ditekan sekecil mungkin.

Dalam mengelola gerbong dikenal istilah Waktu Peredaran Gerbong (WPG) yang berupa jumlah hari rata-rata gerbong dari satu muatan ke muatan berikut. Menghitung WPG dilakukan dengan cara mengalikan jumlah gerbong yang siap operasi dengan jumlah hari pada periode pengamatan. Hasil perkalian tadi dibagi dengan jumlah gerbong yang mendapat muatan pada kurun waktu tersebut sehingga didapat angka rata-rata gerbong dari muatan yang satu ke muatan yang lain dalam satuan hari.

Jumlah gerbong siap operasi yang melebihi kebutuhan operasional, akan menyebabkan WPG tinggi. Demikian juga banyaknya perjalanan kosong akan menaikkan angka WPG. Disinilah perlunya kepintaran dalam menentukan WPG yang optimal.


Bagaimanakah Gerbong Beredar ?


Foto disamping ini adalah Kereta Api pengangkut Bahan Bakar Minyak (BBM), yang sedang menjalani dinasnya dari Stasiun Tegal menuju Stasiun Maos, Cilacap. Pada saat KA BBM tersebut berangkat dari Tegal dapat dipastikan bahwa isi dari gerbong tersebut dalam kondisi kosong. Sementara biaya operasional sepanjang perjalanan yang harus ditanggung tetaplah ada. Karena itu biayanya harus dapat ditutupi pada saat angkutan KA BBM berjalan dalam kondisi gerbong terisi, yaitu pada perjalanan sebaliknya dari Maos menuju ke Tegal. Dalam hal ini dapat saja terjadi dua macam persepsi pada perjalanan KA BBM, bisa disebut “berangkat kosong pulang isi” ataupun “berangkat isi pulang kosong”.


Sementara untuk angkutan Kereta Api Container (Peti Kemas) dengan gerbong PPCW dalam melakukan perjalanan dinasnya sangat dimungkinkan kondisi gerbong terisi penuh, baik dalam perjalanan berangkat maupun pulangnya. Misalnya dapat diambil contoh pada KA Container (KA 2203) yang berangkat dari terminal container Gedebage, Bandung. Setelah KA tersebut berangkat, seluruh muatan container siap dikirim ke pulau lain atau di ekspor ke negara lain melalui Stasiun Pasoso, Tanjung Priok.
Di Pasoso inilah tempat terjadinya bongkar-muat alias tukar-menukar container yang akan dikirim ke atau diambil dari kapal laut dengan menggunakan jasa transportasi kereta api. Setelah semua container diturunkan di Stasiun Pasoso, kemudian tanpa menunggu waktu lama, Container yang telah tersedia di emplasemen Stasiun Pasoso siap diangkut lagi ke atas gerbong PPCW. Container tersebut bisa saja berisi barang impor ataupun lokal. Setelah rangkaian siap, maka KA Container (KA 2204) akan berjalan kembali pulang ke Bandung.


Kemudian ada lagi angkutan barang cepat dengan menggunakan kereta api, yaitu dinamakan KA Antaboga. Berangkat dari Stasiun Jakarta Gudang pada malam hari sekitar pukul 22.00, KA Antaboga (KA 1006) siap mengantarkan berbagai macam barang dengan gerbong GGW-nya menuju Stasiun Surabaya Pasar Turi via Cirebon, Tegal, Pekalongan dan Semarang. Barang di dalamnya pun tampaknya lebih aman karena model gerbongnya yang tertutup, sehingga terbebas dari terpaan angin dan air hujan jika cuaca sedang buruk.
Pada saat perjalanan pulang dari Surabaya, gerbong inipun tidak selamanya harus terisi barang di dalamnya. KA Antaboga (KA 1005) yang menuju Jakarta ada kalanya berjalan dalam kondisi kosong, hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga agar tidak terjadi “kepincangan” jumlah gerbong. Stok barang yang telah menumpuk dan siap kirim dari Jakarta Gudang tetaplah harus terlayani. Karena itulah alasan mengapa rangkaian gerbong harus tetap siap tersedia.


Demikianlah cerita dari beberapa rutinitas gerbong di atas rel KA.




Popular Posts