Tuesday, May 11, 2010

Jakarta - Bandung, antara sebuah pilihan

Sejak awal tahun 2005 dimana proses pembangunan jalan tol Cipularang sedang berjalan, maka di saat itulah mulai terdengar lonceng kematian pada perjalanan Kereta Api untuk jurusan Jakarta – Bandung (PP). Hal ini memang sebenarnya sudah menjadi perbincangan yang hangat bagi para masinis, kondektur beserta para awak KA di saat itu.
Ternyata benar, 5 tahun kemudian tepatnya pada tanggal 27 April 2010 terbukti bahwa PT Kereta Api (Persero) melalui Surat Direksi memutuskan untuk menutup perjalanan salah satu kereta api yang beroperasi di wilyah ini yaitu KA Parahyangan. Beragam tanggapanpun datang bertubi-tubi, baik dari pengamat transportasi, alumni pengguna KA Parahyangan (artis & masyarakat), serta para railfan.

Sebenarnya kalau kita boleh memilih, memang cukup banyak cara dalam menempuh perjalanan Jakarta - Bandung. Bisa dengan angkutan udara ataupun angkutan darat, dimana keputusan terakhir ya berada di tangan masing-masing individu. Namun kalau boleh berpikir lagi lebih jauh, ternyata semua ini adalah sebuah pilihan yang telah diatur / disediakan oleh para pembuat kebijakan transportasi di negeri ini. Kita sebagai warga negara yang baik hanya bisa ikut mengamati dan menjalaninya saja.


Jika kita menggunakan angkutan udara tetap gak akan bisa mengalahkan angkutan darat untuk jarak dekat sampai menengah karena faktor check in dan check out / ambil bagasi, protokol angkutan udara tetap mensyaratkan hal ini, itulah sebabnya di Eropa angkutan udara kalah melawan Kereta Api.
(kecuali kalau angkutan udaranya helikopter yang bisa langsung mendarat di atap gedung di Kuningan, misalnya), belum lagi letak airportnya yg tidak dipusat kota, tetap akan hilang sekitar 1 jam untuk urusan ini. Apalagi kalau jalan menuju airport sedang tergenang air, bisa menjadi lebih.


Memang tampaknya masyarakat Indonesia (terutama yg tinggal di koridor Bandung - Jakarta) harus mengalami dulu "macet - macet - total - total" baru ngeh dan belajar plus sadar bahwa sampai kapanpun jalan raya / toll SENDIRIAN tidak akan pernah bisa menyelesaikan dan memberi jawaban yg terbaik cara bepergian (apalagi untuk koridor seperti seperti Bandung - Jakarta). Baru sadar kalau sudah terlambat nanti dan harga yg dibayar akan terlalu mahal, karena INTANGIBLE Cost nya gak pernah ikut dihitung.


Kalau kita mau jujur ke diri kita sendiri, coba dijawab pertanyaan2 ini :

> memangnya kalau (misalnya) jalan toll dibuat sepuluh jalur dua arah, apa ya gak kelelep jalan di dalam kota Bandung dan Jakarta menampung arus masuk yg segitu gede (artinya membangun jalan toll sendiri - walaupun swasta dan mampu, itu adalah cerminan berpikir hanya sepihak dan "egois", short sight, impaknya ke seluruh sistem jalan dalam kota2 akan sangat berat / bencana buatan manusia modern).

> kalau semua pakai mobil (DAN TIDAK EFISIEN / SE EFISIEN KA) apakah masih cukup BBM FOSSIL untuk semua mobil, katakan hingga 25 - 50 tahun kedepan, kalaupun ada bagaimana kalau harganya selangit, apa masih kebeli (mau semuanya pakai hybrid??)

> kalau semua lahan diubah jadi jalan toll dan sebagai "domino efek" jalan pengumpan maupun penerimanya juga terpaksa di perlebar dan mencaplok apa saja di kiri kanannya, apa masih tersisa lahan buat sawah, kebun, rumah, sarana sosial, taman, jalur hijau, sekolah, lapangan olahraga dll. Bukannya ini akan jadi "the end of the world" ketika sejauh mata memandang cuma tampak jalan - jalan - jalan thok.

> berapa harga yg harus dibayar untuk korban2 akibat polusi, sakit kronis, sakit akut, kematian dini, kecelakaan Lalin akibat berseliwerannya jalan toll dan jalan lain dimana2, sesuatu yg selau "dilewat" oleh para pelaku bisnis jalan raya (yg egois) krn gak pernah mau rugi (pura2 bodoh, buta & budeg dan gak mau tahu).


INTI masalahnya tetap tidak / belum dipahami oleh sebagian masyarakat awam yg "tertipu" oleh janji2 jalan toll. Padahal yang harus selalu diukur ialah Efisiensi Pengangkutan per luas lahan yg ditempati, dalam bahasa yg lebih teknis = berapa orang yg bisa diangkut per luas kendaraan / lahan yg ditempati.

Jangan mau di"bebodo" sama Pak DI, dia kan termasuk kelompok yg melihat sesuatu dari sisi enaknya saja (menurut dia), bahasa lainnya bagian yg dia suka dia akan ngomong keras ke-mana2, bagian yg dia tidak suka, gak akan di singgung2 sama sekali. TIDAK OBJEKTIF. Semua orang juga mengetahui bagaimana Cina membangun jalan KA di mana2 di pelosok negaranya untuk menjangkau berbagai daerah terpencil, plus merambah ke manca negara. Tapi karena DI gak suka KA, maka gak bakalan dia cerita soal kegigihan Cina membangun jaringan KA, yg dia suka mobil (dan jalan toll) maka dia ber-koar2 lewat media miliknya soal mobil (dan jalan toll).
Celakanya pemerintah sendiri tak berdaya karena sudah cekak duitnya, masih juga di"gerogoti" para tikus berdasi yg sangat "kreatif dan pinter2", akibatnya cuma bisa nurut dan ngalah terus ke selera para pelaku bisnis.

Gak akan berpanjang dan bersilat kata, photo disamping ini menunjukkan bagaimana seluruh penumpang dari mobil-mobil ini bila dimuat di KA cuma akan memenuhi dua kereta saja, (dari tujuh buah kereta per set). Tapi karena ngeyel maunya naik mobil sendiri, ya monggo, silakan :
- berboros lahan buat jalan
- berboros BBM fossil buat mobil
- berboros Polusi akibat mobil
- berboros waktu (karena akhirnya macet)
- berboros lahan parkir di pusat kota
- berboros stress di sepanjang jalan
- berboros dll dll dll dst dst.


Pilihan ditangan Anda, kalau masih mau ingat nasib anak cucu nanti yg bakal diwarisi sistem yg "krudit, amburadul, salah dan catastrophic".



Sekian.






Quote from “ST”


6 comments:

jasa seo said...

kereta adalah alat transportasi paling efisien saat ini. dibanding mobil dan pesawat.

Anonymous said...

kalau cara pandangnya dibuat seimbang dan fair. Perlu ditambahin juga berapa jarak & waktu tempuh dari (misal) BSD, Bintaro, Kelapa Gading, Tebet, Grogol, Sudirman, Cimahi, Buah Batu, Dago dll ke statiun2 keberangkatan, apalagi ketika weekend. seberapa afektifkah kereta api mentransfer kaum urban dari jakarta-bandung dan sebaliknya? berapa waktu tempuh dari titik tujuan ke stasiun dan dari stasiun menuju tujuan akhir? pada akhirnya untuk saat ini media Travel lah yang paling efektif untuk menghubungkan jakarta-bandung. didukung oleh kecepatan tempuh, kedekatan dengan asal keberangkatan dan tujuan, serta tarif (total tarif dari titik keberangkatan sampai tujuan akhir) yang kompetitif.

agung penataran said...

harusnya pemerintah mesti liat postingan yang kayak gini..
biar semuanya nyadar..apalagi pak presiden,kudu mbaca..

aditya said...

saya secara pribadi sepakat dengan tulisan ini, tapi sayang ya, cara penulisannya terkesan emosional..

masalah transportasi adalah sebenarnya tentang prilaku bagaimana masyarakat bertransportasi.. tingkat egoisme masyarakat kita yg berlebihan dalam bertransportasi memang menjadi salah satu permasalahan.. sepertinya pelajaran di sekolah dasar tentang mendahulukan kepentingan bersama drpd kepentingan pribadi sudah hilang tak berbekas..

untuk masalah jakarta-bandung, memang pilihan.. tapi tolong, kereta api harus mampu dulu menyaingi keefektifan jalan tol cipularang, karena masyarakat tentu memandang masalah ini dgn satuan waktu, dan jujur saja, untuk urusan waktu melalui jalan tol jakarta-bandung memang lebih oke.

ini yang sangat disayangkan, seharusnya memang kereta api yang lebih unggul untuk jarak menengah seperti ini.. tapi kenyataannya masyarakat melihat kereta api kurang mumpuni..

saya sangat berharap kereta api jakarta-bandung bisa mengungguli jalan tol cipularang.. selamat berjuang!

evan said...

nice artikel gan
visit blog saya ya
ada artikel ttg KA nihh
http://artikelevan.blogspot.com/
thx

Anonymous said...

Betul, jalur kereta api spertinya peninggalan masa belanda. Sehingga waktu itu belum ekonomis utk bikin rel dengan banyak jembatan. alhasil jalurnya berkelak kelok di purwakarta cikampek. jika demgan tol bisa 2.5 jam, dengan tol bisa 3 jam. tapi kalo di saat macet temtunya kereta api lebih oke

Popular Posts